REDUPNYA KILAU EMAS DI KOTA TIMIKA
![]() |
Kondisi Pasar Mimika |
TIMIKA - Menempuh
jarak satu jam dua puluh menit pesawat
Nam Air yang saya tumpangi mendarat di bandara udara Mozes Kilangin Papua – Timika.
Dua puluh menit sebelum mendarat dari atas tampak pemandangan Hutan yang masih
lebat, terlihat kelok sungai – sungai sebagai oranamen menghiasi sepanjang
pematang hutan di Papua barat Timika, serta terlihat turun hujan di beberapa
bagian awan, fenomena alam yang baru saya lihat dan tampak awan tersebut
kelihatan dekat ke bumi.
Timika
adalah kota kabupaten yang berada papua
barat burung cendrawasih. Dan Timika lebih dikenal sebagai kota tambang dimana
sejak Tahun 1967 kota ini telah diekslporoasi miningnya oleh PT Freeport
Indonesia (PTFI). Ketika pesawat akan berhenti Pramugari slalu mengucapakan
“Selamat datang di Kota Tambang Timika”,
terlintas di benak saya kota ini pasti merupakan kota kaya, tertata,
megah, layaknya beberapa kota kabupaten yang sering mendapatkan penghargaan
Adipura di Indonesia.
Mozes
Kilangin adalah salah satu bandara Internasional berada di Timika, Mozes
Kilangin diambil dari nama seorang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan
pendidikan di Papua, Mozes berasal dan lahir dari suku Amungme pertama yang
mengenyam pendidikan Belanda, serta salah seorang yang berjasa mampu meyakinkan
masyarakat setempat atas manfaat eksplorasi tambang emas oleh PT Freeport. Dilihat
dari kondisi bangunan bandara tidak seperti layaknya bandara - bandara
Internasional, terlihat seperti bandara perintis yang berada dibeberapa pulau
atau kota kota kecil di Indonesia, hanya panjang runwaynya bisa mendaratkan
pesawat besar sejenis boing 737. Waluapun kecil namum sedikit memiliki gaya
yang khas, dengan dinding bangunannya bernuansa kayu seperti gaya rumah di film – film koboi Amerika. Bandara ini di
bangun khusus oleh Freefort untuk memudahkan akses transportasi mereka dan juga
digunakan sebagai bandara umum. Freeport merupakan investasi asing dan beberapa
pesawat Internasional sering mendarat, maka dengan alasan itulah bandara
tersebut dikatakan sebagai Bandara Internasional. Tapi what everlah….walaupun
kecil saya bisa merasakan gaya beda dari bandara – bandara perintis yang pernah
saya kunjungi.
Keluar
dari pintu kedatangan pemandangan yang lazim sering kita temui ialah banyaknya
supir – supir taxi menawarkan jasanya untuk mengantar saya sampai ke tujuan, setelah
berfoto –foto dan berselfie sedikit, kemudian saya mendatangi salah satu supir
taxi untuk mencoba menawar harga taxi dari bandara sampai ke Hotel Grand Tembaga
tempat saya menginap. Harga seratus ribu rupiah menurut supir adalah harga yang
pas, mungkin jarak dari Bandara ke Hotel agak jauh ..ya gpplah yang penting
saya bisa nyampe.
Dilingkungan
luar bandara terpampang satu alat berat yang di jadikan sebuah monumen dan
Patung Mozes Kilangin, menandakan sebuah simbol bahwa Timika merupakan kota
tambang. Lingkungan luar bandara kelihatan asri, pohon – pohon tertata rapi
pada bagian kiri dan kanan jalan. Namun ketika memasuki kota Timika saya
sedikit bingung, diluar ekspektasi yang saya harapkan. Di dalam benak saya kota
yang biasa – biasa aja seperti tidak ada pembangunan, hati kecil saya berbicara
ini mungkin masih berada dipinggiran kotanya, namun ketika saya tanya kepada
supir “ini kota Timika Pak ”, “Iya Pak,
Jawab supir”. Kendaraan Saya memasuki pasar yang di padati para pedagang kecil.
Beberapa bangunan tua, ruko, dan satu mall kecil (Timika Mall) seperti tidak
terurus kemungkinan sudah tidak beroperasi lagi. Tak lama kendaraan yang saya
tumpangi tiba dihotel tempat saya menginap, ternyata jarak antara bandara kota
tidak begitu jauh hanya menempuh waktu sekitar 10 sampai dengan 15 menit..ups
..tapi saya hilangkan pikiran – pikiran negatif, dan akan terus berusaha mencari
sisi unik dari kota tambang ini.
Setelah
Check in dan rehat sejenak, saya dan
teman melakukan city tour untuk mengetahui lebih detail tempat –tempat menarik apa
yang ada di kota berpenduduk lebih
kurang 300 ribu jiwa. “Pak jika kita ke mau lihat – lihat Freefort bagaimana
caranya, pertanyaan pertama saya ke pada pak supir”, “Untuk ke tambang lumayan
jauh pak, lebih kurang tiga jam dari kota dan gak bisa sembarangan untuk masuk
kesana, tapi kalau untuk melihat komplek perkantoran, perumahan untuk para
karyawan Freeport gak jauh dari kota, biasanya tamu – tamu pendatang akan kesana untuk berfoto, jawab supir dengan sangat meyakinkan”.
Memasuki
komplek Freeport harus melewati portal besi dan pos penjagaan berlapis,
terdapat bangunan seperti kontainer yang di jadikan kantor untuk para petugas
penjaga. Komplek tersebut seperti kota yang di bangun khusus, sangat rapi,
sepanjang jalan terdapat pepohonan rindang, jogging track, serta jalan – jalan
dengan kualitas aspal kelas satu. Komplek
tersebut memiliki fasilitas yang luar biasa lengkap dari lapangan golf, Rumah
sakit, shopping Center, Kebugaran (Gym), dan beberapa tempat hiburan. Fasilitas
– fasilitas tersebut diperuntukkan khusus bagi para penghuninya saja, hanya
Shoping Center dan tempat ibadah yang dibuka untuk umum tapi saya rasa untuk
masyarakat lokal menegah kebawah tidak akan ada yang pernah untuk belanja disana
terkecuali masyarakat lokal yang bekerja untuk Freeport. Supir membawa kami ke
salah satu tugu yang terbuat dari perunggu, saya gak tahu namanya apa,
kelihatan seperti orang menahan sesuatu
beban yang sangat berat, kemudian si supir membawa kita ke papan besar yang ada tulisan
Freeport untuk berfoto agar nantinya akan menjadi tanda bahwa kita pernah
kemari.
Sekali
lagi saya sangat takjub dengan kota kecil yang telah di bangun Freeport untuk
para penghuninya dan saya rasa itu telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Terdapat dua kota dalam satu kabupaten dan ketimpangannya sungguh sangat drastis.
Satu sisi adalah kota yang begitu tertata tak tampak satu penderitaanpun yang
ada di dalam kota tersebut mungkin nyamuk malaria pun segan untuk mampir ke
kota itu.., sisi lain Kota Timikanya sendiri seperti bukan kota yang memiliki
tambang emas, biasa – biasa aja, taraf hidup penduduk lokal masih belum kelihatan signal kemakmurannya,
kota yang masih dipolemikan perang antar suku, wabah malaria dan kondisi
persaingan politik sangat tegang disana.
Kemana kilau emas itu ? Cahaya emasnya tampak redup, bahkan sepertiya
tidak bercahaya sama sekali. Tambang emas yang dikenal dengan tambang Grasberg memiliki
cadangan emas terbesar di dunia itu telah dibuka sejak tahun 1937 oleh seorang
belanda, dan pada akhirnya pengelolaan tersebut jatuh kepada perusahaan
Freeport yang telah menyepakati kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Jika kita
berada di ruang tunggu bandara di dinding tertera jelas berbagai macam
informasi mengenai apa yang telah dilakukan Freeport terhadap masyarakat
setempat, dari pemberian dana CSR, pendidikan semua jelas dengan alokasi
anggaran yang tidak sedikit, dan itu telah berlangsung selama berpuluh puluh tahun lalu.
Suatu
kesadaran atas pemahaman yang kita bungkus dalam Rasa, dapat diasumsikan jika
semua terkelola dengan baik sudah barang tentu strata sosial masyarakat di Timika
harusnya lebih baik dari seluruh kota – kota di Indonesia. Dari data statistik kota
Timika termasuk penyumbang terbesar dari Pendapatan daerah, namun signal
kemakmuran belum tampak terlihat dimata saya sejak dari hari pertama berada di
kota tambang emas.
Selama
tiga hari saya berada di kota ini, saya melihat sepintas masyarakat lokal
sangat menyatu dengan alam, begitu ramah
dan itu sebuah tradisi yang baik untuk dilestarikan karena dengan adanya
mereka alam yang masih orisinil ini akan terjaga dan terawat dengan baik, tapi
walaupun demikian jangan selalu mengganggap mereka itu primitif dan terbelakang
mereka juga manusia yang mempunyai hak untuk maju dan berkembang. Prisnsip kesetaraan dan keadilan sangatlah
mereka butuhkan. Prinsip keadilan tidak hanya di push dengan program kejar
paket A, bisa aja melakukan berbagai cara dengan menyesuaikan apa yang mereka
lakukan, misalkan latih mereka dengan bercocok tanam, mengelola peternakan, bangun
akses informasi dan masih banyak cara agar mereka juga tidak mengalami
ketertinggalan, jika terbangun kemakmuran secara ekonomi saya rasa mereka akan
sadar akan pentingnya pendidikan untuk men- upgrade dan mengupdate
pengetahuannya.
Di Arport / Bandar udara masih kita dapati masyarakat lokal yang tidak menggunakan alas kaki seperti sandal, sepatu dan sejenisnya, dimana seharusnya sudah tidak terjadi lagi di abad dimana arus informasi sangat mudah terakses, tapi apalah arti sebuah alas kaki, yang paling penting mereka juga bisa menikmati terbang dengan pesawat dan melihat keindahan alam mereka dari atas. Mungkin dari sisi positifnya adalah bentukan manusia yang telah menyatukan rasa dengan alam sehingga jika ia menggunakan alas kaki akan berasa beda, seperti tidak adanya konekitivitas antara ia dan alam.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbWvxvaXd5pSz0gN7Nbf6uwqoc9bnN51oQPn33TlCAU_mPi6w4QKFDC4aUO3xjRc_pw8IMdjNbxR7jVpw0ndgJekgxe45k_1sPOUW1auXlD7QGmEMpKAGyWZQrcvjzQq6hIGS2b0qyAcfI/s200/IMG_20180222_105242.jpg)
Jika
seluruh keadilan serta kesetaraan
tersebut terdistribusi dengan baik saya rasa Polemik internal seperti perang
antar suku tidak akan terjadi. Indonesia
telah banyak berhutang kepada masyarakat Papua yang mampu memberikan kontribusi
berupa pendapatan besar bagi rakyat Indonesia. (NDY,22/02/2018)
0 comments