Latest Posts

REDUPNYA KILAU EMAS DI KOTA TIMIKA

By February 24, 2018


Kondisi Pasar Mimika

TIMIKA - Menempuh jarak satu jam dua puluh menit  pesawat Nam Air yang saya tumpangi mendarat di bandara udara Mozes Kilangin Papua – Timika. Dua puluh menit sebelum mendarat dari atas tampak pemandangan Hutan yang masih lebat, terlihat kelok sungai – sungai sebagai oranamen menghiasi sepanjang pematang hutan di Papua barat Timika, serta terlihat turun hujan di beberapa bagian awan, fenomena alam yang baru saya lihat dan tampak awan tersebut kelihatan dekat ke bumi.

Timika adalah kota kabupaten  yang berada papua barat burung cendrawasih. Dan Timika lebih dikenal sebagai kota tambang dimana sejak Tahun 1967 kota ini telah diekslporoasi miningnya oleh PT Freeport Indonesia (PTFI). Ketika pesawat akan berhenti Pramugari slalu mengucapakan “Selamat datang di Kota Tambang Timika”,  terlintas di benak saya kota ini pasti merupakan kota kaya, tertata, megah, layaknya beberapa kota kabupaten yang sering mendapatkan penghargaan Adipura di Indonesia.

Mozes Kilangin adalah salah satu bandara Internasional berada di Timika, Mozes Kilangin diambil dari nama seorang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan pendidikan di Papua, Mozes berasal dan lahir dari suku Amungme pertama yang mengenyam pendidikan Belanda, serta salah seorang yang berjasa mampu meyakinkan masyarakat setempat atas manfaat eksplorasi tambang emas oleh PT Freeport. Dilihat dari kondisi bangunan bandara tidak seperti layaknya bandara - bandara Internasional, terlihat seperti bandara perintis yang berada dibeberapa pulau atau kota kota kecil di Indonesia, hanya panjang runwaynya bisa mendaratkan pesawat besar sejenis boing 737. Waluapun kecil namum sedikit memiliki gaya yang khas, dengan dinding bangunannya bernuansa kayu seperti gaya rumah  di film – film koboi Amerika. Bandara ini di bangun khusus oleh Freefort untuk memudahkan akses transportasi mereka dan juga digunakan sebagai bandara umum. Freeport merupakan investasi asing dan beberapa pesawat Internasional sering mendarat, maka dengan alasan itulah bandara tersebut dikatakan sebagai Bandara Internasional. Tapi what everlah….walaupun kecil saya bisa merasakan gaya beda dari bandara – bandara perintis yang pernah saya kunjungi.

Keluar dari pintu kedatangan pemandangan yang lazim sering kita temui ialah banyaknya supir – supir taxi menawarkan jasanya untuk mengantar saya sampai ke tujuan, setelah berfoto –foto dan berselfie sedikit, kemudian saya mendatangi salah satu supir taxi untuk mencoba menawar harga taxi dari bandara sampai ke Hotel Grand Tembaga tempat saya menginap. Harga seratus ribu rupiah menurut supir adalah harga yang pas, mungkin jarak dari Bandara ke Hotel agak jauh ..ya gpplah yang penting saya bisa nyampe.

Dilingkungan luar bandara terpampang satu alat berat yang di jadikan sebuah monumen dan Patung Mozes Kilangin, menandakan sebuah simbol bahwa Timika merupakan kota tambang. Lingkungan luar bandara kelihatan asri, pohon – pohon tertata rapi pada bagian kiri dan kanan jalan. Namun ketika memasuki kota Timika saya sedikit bingung, diluar ekspektasi yang saya harapkan. Di dalam benak saya kota yang biasa – biasa aja seperti tidak ada pembangunan, hati kecil saya berbicara ini mungkin masih berada dipinggiran kotanya, namun ketika saya tanya kepada supir  “ini kota Timika Pak ”, “Iya Pak, Jawab supir”. Kendaraan Saya memasuki pasar yang di padati para pedagang kecil. Beberapa bangunan tua, ruko, dan satu mall kecil (Timika Mall) seperti tidak terurus kemungkinan sudah tidak beroperasi lagi. Tak lama kendaraan yang saya tumpangi tiba dihotel tempat saya menginap, ternyata jarak antara bandara kota tidak begitu jauh hanya menempuh waktu sekitar 10 sampai dengan 15 menit..ups ..tapi saya hilangkan pikiran – pikiran negatif, dan akan terus berusaha mencari sisi unik dari kota tambang ini.

Setelah Check in dan rehat sejenak, saya dan teman melakukan city tour untuk mengetahui lebih detail tempat –tempat menarik apa yang ada di kota  berpenduduk lebih kurang 300 ribu jiwa. “Pak jika kita ke mau lihat – lihat Freefort bagaimana caranya, pertanyaan pertama saya ke pada pak supir”, “Untuk ke tambang lumayan jauh pak, lebih kurang tiga jam dari kota dan gak bisa sembarangan untuk masuk kesana, tapi kalau untuk melihat komplek perkantoran, perumahan untuk para karyawan Freeport gak jauh dari kota, biasanya tamu – tamu  pendatang akan  kesana untuk berfoto,  jawab supir dengan sangat meyakinkan”. 

Memasuki komplek Freeport harus melewati portal besi dan pos penjagaan berlapis, terdapat bangunan seperti kontainer yang di jadikan kantor untuk para petugas penjaga. Komplek tersebut seperti kota yang di bangun khusus, sangat rapi, sepanjang jalan terdapat pepohonan  rindang, jogging track, serta jalan – jalan dengan kualitas aspal  kelas satu. Komplek tersebut memiliki fasilitas yang luar biasa lengkap dari lapangan golf, Rumah sakit, shopping Center, Kebugaran (Gym), dan beberapa tempat hiburan. Fasilitas – fasilitas tersebut diperuntukkan khusus bagi para penghuninya saja, hanya Shoping Center dan tempat ibadah yang dibuka untuk umum tapi saya rasa untuk masyarakat lokal menegah kebawah tidak akan ada yang pernah untuk belanja disana terkecuali masyarakat lokal yang bekerja untuk Freeport. Supir membawa kami ke salah satu tugu yang terbuat dari perunggu, saya gak tahu namanya apa, kelihatan seperti orang menahan  sesuatu beban yang sangat berat, kemudian si supir  membawa kita ke papan besar yang ada tulisan Freeport untuk berfoto agar nantinya akan menjadi tanda bahwa kita pernah kemari.

Sekali lagi saya sangat takjub dengan kota kecil yang telah di bangun Freeport untuk para penghuninya dan saya rasa itu telah menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Terdapat dua kota dalam satu kabupaten dan ketimpangannya sungguh sangat drastis. Satu sisi adalah kota yang begitu tertata tak tampak satu penderitaanpun yang ada di dalam kota tersebut mungkin nyamuk malaria pun segan untuk mampir ke kota itu.., sisi lain Kota Timikanya sendiri seperti bukan kota yang memiliki tambang emas, biasa – biasa aja, taraf hidup penduduk lokal  masih belum kelihatan signal kemakmurannya, kota yang masih dipolemikan perang antar suku, wabah malaria dan kondisi persaingan politik sangat tegang disana.

Kemana kilau emas itu ?  Cahaya emasnya tampak redup, bahkan sepertiya tidak bercahaya sama sekali. Tambang emas yang dikenal dengan tambang Grasberg memiliki cadangan emas terbesar di dunia itu telah dibuka sejak tahun 1937 oleh seorang belanda, dan pada akhirnya pengelolaan tersebut jatuh kepada perusahaan Freeport yang telah menyepakati kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Jika kita berada di ruang tunggu bandara di dinding tertera jelas berbagai macam informasi mengenai apa yang telah dilakukan Freeport terhadap masyarakat setempat, dari pemberian dana CSR, pendidikan semua jelas dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit, dan itu telah berlangsung  selama berpuluh puluh tahun lalu.

Suatu kesadaran atas pemahaman yang kita bungkus dalam Rasa, dapat diasumsikan jika semua terkelola dengan baik sudah barang tentu strata sosial masyarakat di Timika harusnya lebih baik dari seluruh kota – kota di Indonesia. Dari data statistik kota Timika termasuk penyumbang terbesar dari Pendapatan daerah, namun signal kemakmuran belum tampak terlihat dimata saya sejak dari hari pertama berada di kota tambang emas.

Selama tiga hari saya berada di kota ini, saya melihat sepintas masyarakat lokal sangat menyatu dengan alam, begitu ramah  dan itu sebuah tradisi yang baik untuk dilestarikan karena dengan adanya mereka alam yang masih orisinil ini akan terjaga dan terawat dengan baik, tapi walaupun demikian jangan selalu mengganggap mereka itu primitif dan terbelakang mereka juga manusia yang mempunyai hak untuk maju dan berkembang.  Prisnsip kesetaraan dan keadilan sangatlah mereka butuhkan. Prinsip keadilan tidak hanya di push dengan program kejar paket A, bisa aja melakukan berbagai cara dengan menyesuaikan apa yang mereka lakukan, misalkan latih mereka dengan bercocok tanam, mengelola peternakan, bangun akses informasi dan masih banyak cara agar mereka juga tidak mengalami ketertinggalan, jika terbangun kemakmuran secara ekonomi saya rasa mereka akan sadar akan pentingnya pendidikan untuk men- upgrade dan mengupdate pengetahuannya.


Di Arport / Bandar udara masih kita dapati masyarakat lokal yang tidak menggunakan alas kaki seperti sandal, sepatu dan sejenisnya, dimana seharusnya sudah tidak terjadi lagi di abad dimana arus informasi sangat mudah terakses, tapi apalah arti sebuah alas kaki, yang paling penting mereka juga bisa menikmati terbang dengan pesawat dan melihat keindahan alam mereka dari atas. Mungkin dari sisi positifnya adalah bentukan manusia yang telah menyatukan rasa dengan alam sehingga jika ia menggunakan alas kaki akan berasa beda, seperti tidak adanya konekitivitas antara ia dan alam.


Kejanggalan yang saya lihat berusaha saya tepis dengan selalu memunculkan pikiran – pikiran positif. Mungkin dalam hal ini pemerintah berusaha menjaga keorisinilan alam yang berada di Papua, mereka tidak ingin apa yang telah terjadi di Kalimantan juga terjadi di Papua, hamparan – hamparan hutan di papua sangatlah luas jika kita lihat dari atas pesawat masih belum kelihatan eksplorasi penebangan seperti yang terjadi di beberapa hutan Kalimantan, Semoga aja kondisi itu terus selalu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena Indonesia banyak memilki cadangan paru – paru yang sangat berdampak baik bagi lingkungan,  namun dari sisi keterbelakangan juga harus selalu di perhatikan, sangat sayang kota yang telah di gali hasil tambangnya dengan mengeruk profit triliunan juta USD pemberdayaannya kurang merata dirasakan oleh masyarakat lokal.

Jika seluruh  keadilan serta kesetaraan tersebut terdistribusi dengan baik saya rasa Polemik internal seperti perang antar suku tidak akan terjadi. Indonesia telah banyak berhutang kepada masyarakat Papua yang mampu memberikan kontribusi berupa pendapatan besar bagi rakyat Indonesia. (NDY,22/02/2018)

You Might Also Like

0 comments