Latest Posts

NELAYAN LOKAL TAK TAMPAK DI POEMAKO, TIMIKA

By February 28, 2018

Nelayan lokal POEMAKO tak tampak di Timika
Pelabuhan Perikani Pomako Timika 

Selama berada di Timika, Saya juga mencari kesempatan untuk jalan – jalan ke tempat pelelangan ikan, karena saya sangat senang sekali melihat kondisi – kondisi alam di wilayah perkampungan – perkampungan nelayan. setiap berkunjung kekota manapun di Indonesia pasti akan saya sempatkan untuk mencari lokasi – lokasi tersebut. Selain tambang, Timika juga merupakan kota penghasil Ikan dan dari informasi yang saya dapat kapasitas bongkaran ikan bisa mencapai 500 sampai dengan 1000 ton perminggu.

Tempat pelelangan berada di kecamatan Poemako berjarak sekita 25 km lebih kurang satu jam perjalanan dari  kota Timika. Perjalanan yang mengasyikkan tidak macet, sepanjang jalan menuju Poemako terlihat hutan yang masih sangat lebat di kiri dan kanan jalan, dan melewati perkamupungan masyarakat lokal dimana kehidupannya sangat terlihat nature. Jarak antara rumah ke rumah sangat jauh. Di beberapa lokasi sudah ada yang mulai menggalakan tanaman horticultura  seperti cabe, sayuran, dan bebrapa tumbuhan laiinnya yang bermanfaat untuk kehidupan, namun tidak banyak selebihnya tampak hutan.

Sungai yang masih kelihatan original tampak bewarna kecoklatan mirip seperti  melihat sungai – sungai di Kalimantan, sangat indah dan menakjubkan melihat alam yang  masih orisinil dan sayang kiranya jika alam ini  terekspoloitasi dan hutan merupakan paru – paru papua tentunya sangat bermanfaat dalam menjaga kehidupan ekosistem  dunia,

Setelah menyaksikan keindahan alam tersebut, tak lama kemudian kendaraan yang saya tumpangi  telah memasuki lokasi Pelabuhan Perikanan Indonesia Poemako, lebih kurang dua ratus meter kendaraan saya tiba di pinggiri dermaga Poemako.

Pelabuhan yang memiliki standar layaknya pelabuhan Perikani di Indonesia, banyaknya kapal pemancing  yang bertonase  sekitar 150 ton, lebih kurang sekitar 20 - an kapal yang sandar di pelabuhan tersebut, jika di kalkukalsi dalam sekali bongkar untuk keseluruhan bisa menghasilkan sekitar 3000 ton dengan asumsi nilai sebesar 50 Milliar rupiah dan durasi pembongkaran selama satu minggu. Dapat diperkirakan pendapatan dari hasil ikan laut aja sebulan untuk kota  Timika bisa 200 milliar, angka yang tidak sedikit sebagai Pendapatan Daerah.

Yang menjadi perhatian saya kapal – kapal nelayan yang masuk ke pelabuhan Poemako hampir di dominasi oleh kapal – kapal dari Jawa dan saya tidak melihat satu kapalpun dari nelayan lokal Poemako, pertanyaannya, kemana para nelayan – nelayan Di sini ? Keganjilan mulai timbul dalam pikiran saya kemana para nelayan itu menjual hasil ikanya, atau mungkin tidak ada penduduk setempat yang berprofesi sebagai nelayan, saya melihat Pelabuhan tersebut sudah seperti pelabuhan bongkar di Jawa, tak tampak nelayan lokal membongkar kapal mereka.

Menyaksikan hal tersebut otak  James Bond saya mulai muncul he..h..he,  berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, padahal dari angka yang saya sebutkan diatas jika itu dilakukan oleh para nelayan lokal, kemakmuran di wilayah tersebut sudah pasti terjaminn mereka akan mendapatkan pendapatan bagus untuk menghidupi keluarga dan membangun kota , akan tetapi ketika melihat kondisi kampung –kampung yang saya lewati tak tampak adanya kemajuan ekonmi masyarakat, sangat stagnan dan mungkin dibawah rata –rata.

Tempat Pelelangan ikan yang tak tampak kehidupannya, sangat sepi tak ada satu ikan pun yang masuk di pelelangan. kapal – kapal ikan yang sandar langsung dimuat kedalam kontainer secara langsung dikirim ke luar pulau dan sebagian juga ada yang dijual untuk konsumsi masyarakat lokal tapi tidak melalui pelelangan. Ada satu pabrik pembekuan yang dibangun oleh Pemerintah, namun tidak kelihatan siapa pengelolanya tak ada tanda – tanda kesibukan di dalam pabrik tersebut. Saya mencoba mendatangi salah satu petugas yang mengontrol wilayah pelabuhan perikanan,  berusaha untuk mencari tahu dari petugas tersebut. Dari keterangan petugas, Pabrik tersebut dikelola oleh swasta dan mereka juga memproduksi beberapa hasil laut. “Pak ce (istilah dari bahasa Papua yang artinya bapak) kemana para nelayan lokal Pak, kenapa gak kelihatan” Tanya saya. “Nah itu masalahnya, disini nelayan kurang diberdayakan, pabrik milik pemerintah yang dikelola swasta, tapi pengelolanya jarang memanfaatin nelayan lokal, dia hanya pakai beberapa aja, dan terkadang harga ikan juga tidak dihargai dengan baik, makanya mereka jadi malas untuk melaut dan dermaga Poemako lebih banyak masuk kapal – kapal dari pulau Jawa yang menangkap ikan di wilyaah perairan Arafuru, makanya kehidupan perikanan untuk nelyan lokal kurang menjamin” jawab petugas tersebut, “Oh itu permasalahannya ya Pak” saya berusaha meluruskan keluh kesah petugas tersebut. “Pada dasarnya para nelayan juga senang pak kalo mereka bisa dihargai dengan baik, dan Pengusaha yang mengelola pabrik beku juga sudah di Kasih warning oleh dinas perikanan , dan rencananya Dinas akan melelang kembali dan mencari orang yang memiliki komitmen atas aturan dari dinas” jawab petugas tersbut dengan penuh penghayatan.

Sebenarnya jika fungsi dari pelelangan di  manfaatkan kegunaanya tentunya masalah tesebut bisa terastasi, dan menurut petugas tempat pelelangan juga telah menjadi temuan badan pemeriksa dan sedang ditindak lanjuti, sangat kompleks ternyata permsalahan yang ada di pelabuhan perikanan di Timika. Sangat sayang sebuah asset yang tidak diberdayakan dengan maksimal. Hasil Poduk perikanan merupakan salah satu penyumbang besar devisa di Negara ini, dengan hamparan lautan yang sangat luas sayang jika masyarakat  - masyarakat pulau burung cendrawasih yang berada di wilayah ujung timur Indonesia tidak bisa merasakan  manfaatnya. Keterbelakangan sosial sudah semestinya tidak terjadi di provinsi ini karena sumber daya Alam yang sangat berlimpah sudah semestinya dipikirkan cara  bagiamana pemerataan hasil dapat di maksimalkan bagi masyarakat Lokal.

Sudah satnya pemerintah memikirkan cara bagiamana  menghilangkan keterbelakangan. Saya melihat Papua ini adalah  harta karun yang terpendam, ntah apakah ada unsur kesengajaan untuk memburamkan kondisi sehingga masyarakat dibiarkan apa adanya agar eksplorasi hasil – hasil alam hanya dinikmati oleh para pengaut paham kapitaslis saja. Sedih ya ...jika penilaian masyarakat mereka adalah primitif mereka seperti hanya di sibukkan dengan kondisi yang sama dari dulu sampai dengan zaman Now. Saya sangat mengakspersiasi keputusan Pemerintah saat ini yang mulai membangun ketertinggalan dari ujung timur Indonesia, dan semoga ini menjadi program jangka panjang Pemerintah untuk fokus dalam  membangun dan memberikan pemerataan sosial yang harus dinikmati masyarakat lokal. Saya rasa jika pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran teratasi, masalah – masalah klise seperti perkelahian antar suku, wabah penyakit, buta huruf tidak musti terjadi di negeri timur nusantaraku. (NDY, 22/02.18)

You Might Also Like

0 comments