LEBARANKU
CATATAN LEBARANKU
“ 1 Syawal 1440 H”
Satu
bulan kurang sehari, Alhamdulillah kewajiban puasa di bulan ramadhan 1440 H berhasil
saya selesaikan, walaupun ibadah ini terasa kurang sempurna kulaksanakan. Ketika
berada di tanah air lebaran selalu memiliki khasanah budaya tersendiri. Ramdhan dan Idul fitri adalah proses pensucian
diri, ajang mempertajam silaturahim, dan hampir diseluruh kota di Indonesia
merasakan nuansa tersebut serta mampu menggugah kesadaran kita untuk slalu mengasah,
mempertajam kesempurnaan ibadah kita hanya semata kepada Allah SWT.
Tanggal
1 Syawal 1440, di Sofia jatuh pada tanggal 4 Juni 2019, selisih sehari dengan
negara – negara asia seperti Indonesia. Pada malam lebaran biasa terdengar
olehku gema takbir, Tahmid, namun malam Syawal kali ini hanya gema suaraku sorang
yang terdengar demi menjaga agar nuansa kemenangan ini tidak sirna dalam jiwa.
Dan
ini adalah kali pertamanya, di malam yang penuh berkah kemenangan, kududuk
sendiri di dalam apertemenku, begitu
hening, malam ini adalah malam kebahagian bagi umat muslim, biasanya
terdengar ditelingaku dentuman meriam sungai di Pontianak, pawai keliling di Manado
dan rombongan masyarakat yang melakukan takbir keliling dari rumah kerumah,
hingga aroma dapur – dapur emak kita yang membangkitkan gairah kemenangan serta kebahagian.
Batinku
bertanya kepada Allah SWT ? “ ya.. Allah berikan petunjuk bagiku, kenapa malam
lebaran kali ini Engkau jauhkan diriku dari kedua orang
tuaku, Engkau jauhkan diriku dari Isteri dan anak – anakku, dan engkau bikin
diriku seperti tidak berkutik pada malam kemenangan ini”. Dan pada malam itu saya hanya duduk
diam, mencoba terus berpikir, merenung mencari petunjuk ada apa dengan
kesendirianku”.
Keheningan
yang terus mengantarku untuk terus
intropeksi diri, hingga tanpa terasa, sedih itu berujung mencari tahu apa makna
dan esensi dalam budaya lebaran yang dilaksanaan jutaan penduduk muslim dunia
saat ini.
Setelah
lama merenung, aku mencoba mengisi keheningan malam dengan melihat berita –
berita di tanah air. Kemeriahan dan kemenangan penduduk muslim di tanah air,
sungguh membuat saya takjub, berita tanah air kali ini cukup membuat saya bangga
sebagai bangsa Indonesia, dimana paska pemilu sampai dengan puasa Ramadhan,
media yang saya lihat dari jarak ribuan km, hanya berisi konflik
politik antara paslon yang berasa menang dan berasa kalah. Puncak politik
praktis pada saat itu berujung kisruh antara pihak penuntut keadilan dengan
aparat keamanan yang begitu memakan korban.
Namun
kejadian perseteruan antara kepentingan, dirasakan seperti mengalami disintegerasi,
dan apa yang saya rasakaan, terlihat rakyat
Indonesia seperti akan terpecah belah..bahkan samar terdengar bunyi referendum dari
beberapa kota.
Mengamati
Indonesia dari luar begitu terlihat jelas, terjadi polemik kebangsaan di
Indonesia saat ini. Seperti ada kekuatan
besar yang berupaya untuk merontokkan nilai persatuan dan kesatuan yang
terbungkus dalam Pancasila sebagai pilar kebangsaan bagi bangsa Indonesia.
Kekuatan besar tersebut berusaha meruntuhkan nilai ke Bhinekaan yang mejadi dasar
kekuatan bangsa ini.
Namun
pada saat malam lebaran, kekuatan Unity in Divefrsity yang dimiliki bangsa ini kembali
menguat, seluruh media seperti
berkomitmen untuk memberitakan hal yang
sama, muncul kekuatan saling memaafkan dan saling meminta maaf, seketika tak
terdengar lagi teriakan para pencari Hak Asasi Manusia, tak terdengar lagi komplain
para elit politik, tak terdengar lagi pencerahan pakar – pakar hukum, yang ada
pada malam itu hanya teriakan – teriakan takbir, tahmid yang dilantunkan secara
indah, “Allahu Akbar… Allahuakbar
walilla ilham …” .
Sungguh
luar biasa malam 1 syawal 1440 H, Allah menunjukkan kebesaranNya, keagunganNya,
bahwa malam itu adalah pemberian keistimewaan dariNya dan manusia seperti kaset
yang bisa di putar kembali ke awal untuk menuju fitrah, manusia seperti di charge kembali kesadarannya,
terlihat olehku bahwa kebesaran umat beragama adalah toleransi, serta bentuk
saling hormat – menghormati dan bagaimana membentuk cara untuk menghargai antar sesama manusia, bahkan kepada seluruh
makhluk ciptaanNya.
Keren…
disinilah hakekat kebesaran sang maha pencipta Alam dan seisinya. Tak henti – hentinya hati ini memuji dan terus
bersyukur atas keagungaNYA, dan aku merasakan pada hari kemenangan ini adalah
milik Allah yang diberikan sepesial kepada manusia sebagai bentuk self control.
Al Qur’an pada surah Al – Isra ayat 70, “Wa Laqad Karamna Bani Adam “
dan sesunggunya Kami muliakan anak – anak Adam. Manusia diciptakan Allah sebagai
makhluk yang paling mulia.
Entah
kenapa terlintas dibenakku salah seorang tokoh fenomenal yang dimiliki oleh
bangsa ini, Kh. Abdurahman wahid atau biasa akrab dipanggil Gus Dur. Beliau adalah
sosok yang saya kenal sebagai sosok humanist dan humorist, joke – joke lucunya selalu
memiliki makna sangat mendasar dalam tataran kehidupan bermasyarakat.
Sampai
setelah dirinya di Impeachment /
diturunkan, beliau masih memikirkan nilai – nilai kemanusian, walaupun kekuatan
yang dimilikinya masih mampu mempertahankan dirinya untuk menjadi Presiden. Menurut
Gus Dur untuk apa kekuasaan dipertahankan tapi rakyat akan menjadi korban,
lebih baik saya kembali menjadi rakyat biasa, tapi hak – hak kamanusian yang
dimiliki manusia masih tetap diperjuangkan. Paska wafatnya Gusdur, hampir semua
tokoh – tokoh di Indonesia mengatakan hal yang sama, bahwa seorang Gus dur selalu mengedepankan nilai
kemanusiaan.
Sedikit
banyak pada malam itu hampir seluruh ceramah – ceramah Gusdur ku putar kembali dan
menemani serta menghibur kesendirianku,
Gus Dur mampu membuatku tertawa, membuatku berpikir secara mendalam, bahwa budaya lebaran memiliki esensi dalam
membangun kembali nilai kemanusian, dan ini berlaku untuk semua umat manusia tanpa membatasi mereka dalam kelompok
tertentu. Lebaran atau idul Fitri adalah refleksi diri.
Dan pada akhirnya cerita – cerita Gus Durlah menemaniku
pada malam itu, serta mengantarkan tidur
manisku di malam lebaran yang begitu indah. (NDY, 03062019)
0 comments