PANDEMI = PANIK DEMI COVID 19
![]() |
Ilustrasi gambar - https://blogs.chapman.edu |
Panik demi COVID-19 ? COVID-19 seakan slalu memproduksi cerita dan drama-drama baru, dari hari ke hari korban semakin meningkat, data WHO saat ini menunjukan lebih 4 juta jiwa penduduk dunia telah terinfeksi, dan 200 ribu jiwa korban meninggal, belum lagi drama ekonomi global seperti orang bunuh diri lompat dari pesawat tanpa menggunakan parasut.
Namun
patut kita sukuri bahwa tingkat kesembuhan dari outbreak ini cukuplah
tinggi dibandingkan dengan angka kematian akibat COVID-19, data yang dilansir Jhon Hopkins media
center, angka tabulasi yang sembuh dari COVID-19 diatas 1 juta jiwa atau
berkisar diangka 20%, walaupun vaksin atau obat khusus untuk penyakit ini masih
dalam proses.
Dari
beberapa berita yang saya baca, pada umumnya pasien sembuh, mendapatkan treatment dari para medis adalah dengan cara
melakukan isolasi khusus terhadap pasien tersebut serta meningkatkan imunitas
tubuh mereka dengan cara mengkonsumsi
vitamin, makanan bergizi dan berusaha mengajak pasien untuk tetap dalam kondisi
stabil atau tidak stress, ironisnya lagi obat-obat tradisional (Jamu) saat ini
menjadi trend, penjualannya meningkat tajam, artinya masyarakat berusaha
menjaga ketahanan tubuhnya dengan melakukan segala bentuk ikhtiar.
Standar
pencegahan yang dikampanyekan WHO juga telah menjadi rujukan seluruh manusia
dunia, seperti mencuci tangan, menggunakan masker, sanitizer, menjaga jarak, /social
distancing, dan tetap melakukan prilaku hidup bersih. Muncul gelombang tsunami
positif, tanpa kita sadari seperti membentuk pola baru mengajak manusia
untuk hidup lebih bersih, dan bagaimana betapa pentingnya dampak dari cuci
tangan pada kehidupan kita saat ini ..he..he.
COVID-19 tidak pandang bulu, angka tertinggi penyebarannya berdampak di wilayah
Eropa dan Amerika yang telah mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Kedua benua
yang selalu menjadi perhatian dan perbandingan dunia dalam melihat tataran
kehidupan mayarakatnya, bisa dikatakan sangat sadar, sophisticated, taat terhadap
regulasi dan dianggap lebih teratur.
“Tapi data tersebut bukan mewakili satu negara ya..” benar angka
tersebut bukan merupakan representasi dari satu negara, namun terlintas justeru angka penyumbang terbesar adalah negara - negara besar dimana
memiliki peradaban sosial yang cukup mapan.
Aneh
ya !!!
Apakah
bumi kembali berevolusi. Berputar kembali ke kondisi sejarah pandemi yang terjadi
pada abad - abad sebelumnya, blackdeath,
wabah Spanish flu ada abad ke 19 yang juga mengguncang dunia dimana memakan
korban lebih 5 % penduduk dunia terinveksi wabah tersebut, dan menginfeksi
lebih dari 20% masyarakat eropa.
Konon
ada yang mengatakan wabah spain flu tersebut merupakan senjata biologi yang
digunakan pada perang dunia pertama. Kemudian wabah cholera yang sempat banyak
di jadikan cerita – cerita novel romatis, salah satu diantaranya adalah “love time n cholera”.
Dalam
sejarah Islam sendiri, Nabi besar Muhammad SAW pernah menghadapi wabah, dan
cara yang dilakukan beliau adalah dengan menutup kota Madinah pada saat itu
agar umatnya untuk tidak keluar dari kota dan umatnya yang dari luar untuk
tidak masuk ke kota yang telah terkena wabah, tujuannya untuk menghambat penularan
dari wabah tersebut.
Dari
sebuah riset yang ditulis oleh dua orang pakar ekonomi dunia Sergio Correia,
(Economist, Board of Governors of the Federal Reserve System) dan Stephan
Luck, (Economist, Research and Statistics Group of the Federal Reserve Bank of
New York) yang berjudul “How can we save lives and the economy? Lessons
from the Spanish Flu pandemic”, dalam risetnya menyebutkan penerapan Non – Pharmaceutical Interventions (NPIs) atau umum kita kenal dengan social distancing sangatlah penting, karantina wilayah
dapat memiliki efek positif dalam membatasi lonjakan infeksi dan menghindari korban massal, dalam studinya yang diambil dari pandemic Spanish flu
tahun 1918 bahwa kota – kota yang menerapkan
NPIs atau social distancing secara lebih awal tidak akan berdampak terhadap masalah ekonomi
yang berkepanjangan, dan kota tersebut dapat melaksanakan ekonomi riil
setelah pandemi mereda, dan dari risetnya mengatakan kota tersebut akan lebih cepat
mengalami peningkatan secara ekonomi dibanding kota – kota lainnya.
Fakta
yang saya amati sejak munculnya wabah COVID-19, masyarakat dunia begitut panik, penyebaran
wabah ini seakan berlari begitu cepat, dari Januari 2020 sampai saat ini sudah menginfeksi jutaan penduduk dunia.
Logika
sederhana saya mengatakan, kenapa ketika virus tersebut mulai mewabah, kita tidak
mengikuti petunjuk yang terbentuk dari sejarah atau belajar dari sejarah, tentunya tidak
akan ada kejadian sebesar ini. Pencegahan suatu wabah sangatlah simple “cukup dengan menahan pergerakan
manusia”, jika ada yang terinfeksi rawat dan isolasi mereka dengan nyaman tanpa
menimbulkan stress. Kegiatan diberhentikan sementara dan seluruh energi fokuskan untuk
menghadapi dampak sosial yang akan terjadi dimasyarakat.
Entah
kenapa negara seperti Amerika dan Eropa benar - benar terpapar parah, sebodoh
itukah benua memiliki tataran kehiduan sosial yang begitu mapan, hingga wabah
tersebut mampu menyerang begitu dasyatnya, dan very funnynya lagi China
yang kita ketahui sebagai pusat penyebaran wabah mampu menekan angka masyarakatnya
yang terinfeksi, sejak Februari 2020 lalu, negara tirai bambu menduduki klansemen
teratas dari angka korban terbanyak, namun sampai bulan Maret kondisi tersebut
berubah, China sangat survive, angka yang terinveksi sangat flat dan klansmen tersebut digantikan oleh Amerika. China sangat berhasil menerapkan social distancing.
Amerika
dan China sejak 2019 telah memulai pertikaiannya dengan perang dagang antar dua
negara yang juga memberikan dampak ekonomi dunia, kemudian perang dagang
tersebut berlanjut dengan pandemi COVID-19, yang sampai saat ini masih menjadi
polemik kita semua. Ada berita dimedia yang saya baca ntah benar atau tidak menyebutkan bahwa Amerika akan menuntut China atas pandemi yang telah
menimpa dunia, Amerika mengangap Chinalah biang kerok dari semua ini, statemen
tersebut semakin memperkeruh apa yang telah menimpa masyarakat dunia.
Belum
lagi bermunculannya isu - isu konspirasi yang menganggap pandemi adalah kepentingan
segelintir elit dalam mendapatkan pengaruh global, wah seram ya, panik atau kepanikan dianggap memiliki nilai jual, pandemi seakan berubah menjadi “Pandemi = panik
demi COVID-19”. Dilain sisi, virus - virus yang telah mendekam lama dibumi dimana merenggut korban hingga puluhan juta jiwa, namun tidak pernah membuat
kita perduli atau sepanik ketika menghadapi COVID-19. (200511 – NDY, - kangen jalan – jalan,) To be
continue…
1 comments
makin renyah tulizannya
ReplyDelete